Jumat, 01 Februari 2008

Cerita Anakku Cori Nariswari

Pontianak, Kamis, 31 Juli 2008. Cerita mengenai anakku Cori Nariswari Mernissi, selalu saja ada hal-hal baru dalam setiap harinya. Melihat pertumbuhannya, rasa tak percaya hinggap di pandangan mataku.

Ia tumbuh menjadi anak yang lucu, ceria, dan cerdas. Tingkah polahnya bermacam-macam. Setiap melihat gaya ia bercanda, seperti mimpi saja melihatnya kini tumbuh besar.

Teringat pada Jumat, sekira pukul 15.30 WIB, tanggal 9 Februari 2006. Dalam kamar bersalin di klinik Anugrah, Jl Sungai Raya Dalam, Pontianak. Aku berjuang keras dengan bantuan seorang bidan dan seorang perawat, didampingi suamiku, berupaya mengeluarkan si jabang bayi itu.

Kini, setelah lebih setahun ia lahir, atau 1,5 tahun usianya, Coriku tumbuh dengan tanda-tanda kecerdasannya. Ia telah mengenal sejumlah kata dan barang-barang yang ada di sekitarnya.

Ia juga semakin sering bertanya, meski belum banyak mengenal kata-kata. Saat ini, Cori selalu menggunakan kalimat semisal "Ini Apa?" jika bertanya mengenai suatu barang yang ia temui.

Kegemarannya mendengar musik, berjoget pun telah tampak jelas. Setiap mendengar musik di radio, tape mobil, atau pun menyaksikan acara musik di televisi, aksinya pun muncul. Cori yang semula sedang memegang botol mimik sambil tiduran atau duduk, langsung bereaksi, berdiri dan jingkrak-jingkrak sambil mengikuti irama musik.

Aksinya itu, tentu saja mengundang senyum aku dan ayahnya. Suatu kebahagiaan tak terkira…
Ada satu "penyakit" yang kini sedang mengusik pikiranku. Cori sering sekali menolak makan. Bubur instan yang kusediakan baik saat pagi maupun sore hari. Jarang mau dimakannya.

Namun baru tadi malam, Rabu (30/7) aku dan suami menyadari. Ternyata ia menyenangi makanan yang bervariasi. Cori dengan lahap menyantap telur, bakso dan udang yang bercampur dalam bihun goreng yang aku beli di "food count", di Mega Mall A Yani.

Ia seperti tidak sabar menyuap setiap potongan telur, bakso dan udang yang aku dulang ke mulutnya dengan menggunakan sumpit. Selama menyuap makanan ke mulutnya, Cori selalu berbicara dengan suara nyaring, seolah mengabariku agar cepat-cepat memasukkan sumpit ke mulutnya. Ulahnya itu, sempat juga membuatku malu terhadap pengunjung restoran siap saji itu.

"Jangan-jangan, orang pada berpikiran, ini ibunya kok mau makan sendiri saja. Tidak mau berbagi dengan anaknya?" begitulah dugaanku…

Aku dan suami berulang kali memintanya supaya bersabar dan tidak perlu mengeluarkan suara nyaring untuk mendapatkan suapan itu.

Kami pun sempat takjup melihat ulah Cori. Padahal, sebelumnya, ia baru saja memakan habis satu roti keju berukuran sekepalan tangan ku. Selain itu, sebelum pergi ke mall, Cori juga sudah makan sekira 6 sendok (satu mangkok bayi) bubur instannya.

Kejadian ini merupakan suatu yang mengejutkan bagiku. Karena selama ini, berhari-hari, kami sekeluarga menjadi bingung karena aksi penolakannya untuk makan pada jam-jam makan normal; pagi, siang dan sore…

Setiap dua seminggu sekali, atau maksimal tiga minggu sekali, kami selalu mengajak Cori, nenek dan ayi (kakek), untuk makan di luar atau sekedar jalan-jalan saja.

Ini kami lakukan, karena nenek dan ayi setiap hari di rumah dan mengasuh Cori. Mereka pasti suntuk, setiap hari selalu berada di rumah.

Kalau tidak makan di luar atau jalan-jalan, kami biasanya bawa makanan ke rumah, untuk makan bareng.